Catatan: Default Waktu Shubuh Menurut PP. Muhammadiyah
Waktu Shubuh dan Isya ISRN ditentukan menurut data empirik Tim - ISRN-UHAMKA Jakarta, Shubuh: -13,2° Isya: -13,0°.
Sedangkan waktu Shubuh Muhammadiyah menggunakan keputusan parameter baru yaitu 18°, bukan lagi 20°.
CATATAN REFERENSI KITAB:
Waktu Isya
Teks mengenai waktu 'Isya dalam mazhab Syafi'i benar adanya dan banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh mazhab Syafi'i. Secara umum, waktu 'Isya' dalam mazhab Syafi'i memang dibagi menjadi dua:
Waktu Ikhtiyārī (Pilihan): Waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat 'Isya', dimulai setelah hilangnya mega merah (syafaq) di langit dan berakhir hingga tengah malam.
Waktu Ḍarūrī (Darurat): Waktu yang boleh digunakan untuk melaksanakan shalat 'Isya' jika ada halangan atau udzur tertentu, yang berakhir hingga terbitnya fajar (waktu Subuh).
Referensi untuk pembagian waktu ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh klasik, seperti:
"Al-Majmū' Syarḥ al-Muhadhdhab" karya Imam Nawawi, yang menjelaskan pembagian waktu shalat, termasuk waktu 'Isya', berdasarkan mazhab Syafi'i.
"Mughnī al-Muḥtāj" karya Imam Khatib al-Syarbini, yang juga membahas detail tentang waktu-waktu shalat dalam mazhab Syafi'i.
"Tuhfatul Muhtaj" karya Ibn Hajar al-Haitami, yang memberikan penjelasan mendalam tentang waktu 'Isya'.
Pembagian ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ dan interpretasi ulama mazhab Syafi'i terhadap hadis-hadis tersebut.
===
"
"Adapun waktu ikhtiyār (pilihan), maka ia dimulai setelah hilangnya mega merah (syafaq) dan berlanjut hingga tengah malam, sedangkan waktu ḍarūrah (darurat) dimulai dari tengah malam hingga terbitnya fajar."
"
"Dan waktu ikhtiyār (pilihan) untuk shalat 'Isya' berakhir pada tengah malam, dan waktu ḍarūrah (darurat) dimulai setelah tengah malam hingga terbitnya fajar."
"Tuhfatul Muhtaj" karya Ibn Hajar al-Haitami, Halaman: Juz 1, halaman 426.
"Waktu 'Isya dalam mazhab Syafi'i terbagi menjadi dua waktu: waktu ikhtiyār (pilihan) yang berakhir pada tengah malam, dan waktu ḍarūrah (darurat) yang berlangsung hingga terbitnya fajar."
Waktu Utama Awal Tahajjud
Waktu awal untuk salat Tahajjud adalah salah satu topik yang dibahas oleh para ulama dalam berbagai mazhab. Berikut adalah pandangan dari empat mazhab utama:
Mazhab Hanafi
Menurut Mazhab Hanafi, waktu untuk memulai salat Tahajjud adalah setelah tidur malam. Tahajjud tidak dapat dilakukan sebelum tidur. Waktu ini dimulai setelah melaksanakan salat Isya dan berlanjut hingga waktu Subuh. Namun, mereka lebih menganjurkan melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir, karena waktu ini dianggap lebih utama.
Mazhab Maliki
Dalam Mazhab Maliki, waktu Tahajjud dimulai setelah melaksanakan salat Isya. Seperti dalam Mazhab Hanafi, salat Tahajjud dilakukan setelah bangun dari tidur, tetapi tidak ada penentuan waktu khusus seperti sepertiga malam terakhir. Namun, melaksanakan Tahajjud pada sepertiga malam terakhir dianggap lebih utama karena waktu tersebut memiliki keutamaan tersendiri.
Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i juga berpendapat bahwa waktu Tahajjud dimulai setelah tidur malam, setelah salat Isya. Waktu ini berlangsung hingga masuknya waktu Subuh. Pelaksanaan Tahajjud yang terbaik menurut mereka adalah pada sepertiga malam terakhir karena itu adalah waktu yang paling mustajab.
Mazhab Hanbali
Dalam Mazhab Hanbali, waktu Tahajjud juga dimulai setelah tidur, setelah melaksanakan salat Isya. Mereka juga menganjurkan melaksanakannya pada sepertiga malam terakhir, meskipun boleh dilakukan kapan saja setelah tidur hingga sebelum masuk waktu Subuh.
Kesimpulan:
Semua mazhab sepakat bahwa waktu Tahajjud dimulai setelah tidur malam dan setelah salat Isya, serta berakhir sebelum waktu Subuh. Yang berbeda adalah anjuran tentang waktu yang lebih utama untuk melaksanakan Tahajjud, dengan semua mazhab menganjurkan sepertiga malam terakhir sebagai waktu yang paling utama untuk melaksanakannya karena keutamaannya yang besar.
Waktu Dhuha:
Penentuan waktu shalat Dhuha dibahas dalam berbagai kitab fiqh klasik oleh ulama besar.
Kitab "Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab" karya Imam An-Nawawi merupakan salah satu kitab fiqh Mazhab Syafi'i yang sangat terkenal.
قال النووي في "المجموع شرح المهذب":
"وأما وقت الضحى، فهو من ارتفاع الشمس قدر رمح إلى أن يقوم قائم الظهيرة، وفضله إذا اشتد الحر واشتد الرمضاء، ويقال له الضحى الأعلى."
Imam An-Nawawi berkata dalam "Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab":
"Adapun waktu Dhuha adalah dari naiknya matahari setinggi satu tombak hingga sebelum masuk waktu Zuhur (saat bayangan berdiri tegak), dan waktu yang paling utama adalah ketika panas semakin terik dan tanah menjadi sangat panas, yang disebut dengan 'Dhuha al-A'la (Dhuha yang tertinggi)."
Penjelasan Tambahan:
Dalam keterangan ini, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa waktu Dhuha dimulai ketika matahari sudah naik sekitar setinggi satu tombak dari horizon hingga sebelum waktu Zuhur tiba, yaitu ketika matahari berada tepat di tengah langit dan bayangan benda menjadi sangat pendek. Waktu terbaik untuk melaksanakan shalat Dhuha adalah ketika panas mulai menyengat, yang menandakan bahwa matahari sudah tinggi di langit.
Kitab ini memberikan panduan yang jelas tentang waktu yang tepat untuk melaksanakan shalat Dhuha dan diakui sebagai salah satu rujukan utama dalam Mazhab Syafi'i.
Kitab "Mughni al-Muhtaj" karya Khatib Asy-Syarbini, merupakan salah satu kitab penting dalam Mazhab Syafi'i, membahas waktu shalat Dhuha dengan menyebutkan besarnya tambahan derajat setelah matahari terbit:
قال الشربيني في "مغني المحتاج":
"ووقت الضحى يبدأ من ارتفاع الشمس قيد رمح، وهو مقدر بربع ساعة تقريبًا بعد الشروق، وقيل بستة عشر درجة، ويمتد إلى قُبيل الزوال، وفضله في شدة الحر عند ارتفاع الشمس، وهو أفضل من أوله."
Asy-Syarbini berkata dalam "Mughni al-Muhtaj": "Waktu Dhuha dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak, yang diperkirakan sekitar seperempat jam setelah terbitnya matahari, dan ada yang mengatakan setelah enam belas derajat, dan berlangsung hingga sebelum waktu Zuhur tiba. Waktu yang paling utama adalah ketika panas mulai menyengat, saat matahari sudah tinggi, dan ini lebih utama daripada awal waktunya."
Penjelasan Tambahan:
Dalam referensi ini, Asy-Syarbini menjelaskan bahwa waktu shalat Dhuha dimulai ketika matahari sudah naik setinggi satu tombak atau sekitar enam belas derajat di atas horizon. Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa ada jeda waktu tertentu setelah terbitnya matahari hingga dimulainya waktu Dhuha, yang dihitung berdasarkan derajat ketinggian matahari.
PENJELASAN PERBEDAAN WAKTU DHUHA
Waktu Dhuha memang sering menjadi perdebatan terkait dengan seberapa lama jarak antara terbitnya matahari dan dimulainya waktu Dhuha. Dalam praktik, dua pandangan utama yang umum di Indonesia adalah pandangan dari Majelis Tarjih Muhammadiyah dan pandangan dari Kementerian Agama (Kemenag).
Majelis Tarjih Muhammadiyah:
Menurut pandangan Majelis Tarjih, waktu Dhuha dimulai ketika matahari telah naik sepenggalah, yaitu sekitar 7° di atas ufuk. Berdasarkan perhitungan astronomi, ini biasanya memakan waktu sekitar 28-39 menit setelah matahari terbit, tergantung pada lokasi geografis dan waktu dalam setahun. Inilah mengapa dalam kalender Tarjih waktu Dhuha mungkin terlihat lebih lama, seperti 39 menit setelah matahari terbit.
Kementerian Agama (Kemenag):
Kemenag cenderung menggunakan patokan yang lebih sederhana, yaitu 15-20 menit setelah matahari terbit. Ini didasarkan pada pandangan bahwa waktu yang cukup untuk matahari naik dari ufuk adalah sekitar 2-3 meter di atas horizon (sekitar 3-5°). Hal ini juga dianggap cukup untuk menghindari kesalahpahaman dengan waktu larangan shalat setelah terbitnya matahari.
Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan interpretasi terhadap hadis dan perhitungan astronomi yang digunakan oleh masing-masing lembaga. Waktu Dhuha sendiri adalah rentang waktu yang panjang, dimulai dari saat yang disebutkan di atas hingga sebelum waktu zhuhur. Karena itu, meskipun ada perbedaan, kedua metode tersebut masih dalam koridor yang benar.
Jika dalam kalender 2024 waktu Dhuha menurut Majelis Tarjih sekitar 39 menit setelah terbitnya matahari, itu masih sesuai dengan perhitungan astronomi yang mendasarinya. Namun, mereka yang mengikuti Kemenag mungkin merasa lebih nyaman dengan interval yang lebih pendek, sekitar 20 menit.
Kesimpulan:
Majelis Tarjih menggunakan sekitar 28-39 menit setelah terbit matahari berdasarkan ketinggian matahari 7°.
Kemenag menggunakan sekitar 15-20 menit setelah terbit matahari dengan asumsi ketinggian matahari sekitar 3-5°.
Jika ada preferensi untuk menggunakan salah satu metode, itu tergantung pada keyakinan dan rujukan yang lebih dominan di tempat tersebut. Namun, keduanya memiliki landasan yang kuat dan dapat dipilih sesuai kebutuhan.
Dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Waktu shalat Zuhur adalah ketika matahari tergelincir (masuk waktu dzuhur) hingga bayangan seseorang sama dengan panjangnya, selama waktu Ashar belum tiba. Waktu shalat Ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama mega merah belum hilang. Waktu shalat Isya adalah hingga pertengahan malam. Waktu shalat Subuh adalah dari terbit fajar hingga sebelum terbit matahari. Jika matahari sudah terbit, maka tahanlah diri dari shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan."(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, juga diriwayatkan dalam kitab Sunan Abi Dawud dan Sunan at-Tirmidzi dengan riwayat yang serupa.)
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jibril mengimami saya di sisi Ka'bah sebanyak dua kali. Pertama kali dia shalat Zuhur saat matahari tergelincir, dan kedua kali saat bayangan seseorang sama panjang dengan dirinya. Kemudian, dia shalat Ashar pertama kali saat bayangan seseorang sama panjang dengan dirinya, dan kedua kali saat bayangan seseorang dua kali panjang tubuhnya. Kemudian, dia shalat Maghrib pertama kali saat matahari terbenam, dan kedua kali saat hilangnya mega merah. Kemudian, dia shalat Isya pertama kali saat hilangnya mega merah, dan kedua kali hingga pertengahan malam. Kemudian, dia shalat Subuh pertama kali saat fajar terbit, dan kedua kali saat tanah mulai terang (sebelum matahari terbit)." (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, juga diriwayatkan dalam kitab Sunan Abi Dawud dan Sunan at-Tirmidzi.)